Promo Spesial and Free Ongkir
Baca Juga
SIDAMULYANEWS - Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) akhirnya menembus level pelemahan baru yakni Rp15.000 per USD. Pelemahan ini menjadi rekor terburuk sepanjang tahun ini.
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute Development of Economic and Finance (Indef) Bima Yudhistira Adhinegara mengatakan pelemahan Rupiah dikarenakan faktor domestik dan global. Dia memprediksi, hari ini Rupiah bergerak di level Rp14.950 per USD-Rp15.060 per USD
“Faktor global dan domestik sama-sama mendominasi pergerakan rupiah pekan depan. Kenaikan harga minyak mentah hingga USD85 per barel atau melonjak 28% (ytd) disebabkan oleh berkurangnya pasokan paska boikot minyak Iran yang diserukan Trump,” ujarnya saat dihubungi Okezone, Selasa (2/10/2018)
Bagi negara net importir minyak seperti Indonesia, lanju Bhima naiknya harga minyak dapat menyebabkan defisit migas yang semakin lebar. Permintaan dollar secara alamiah akan terus meningkat. Wacana kenaikan harga BBM pun menjadi momok inflasi hingga akhir tahun 2018.
“Kondisi eksternal diperparah oleh deadlock anggaran belanja pemerintah Italia. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan di daerah Uni Eropa paska krisis utang tahun 2013 lalu. Ditambah ketidakpastian Brexit dibawah pemerintahan Theresa May menimbulkan pelemahan Euro terhadap USD sebesar 1,29% seminggu terakhir,” katanya.
Pada pekan ini Amerika Serikat (AS) akan mengumumkan data tenaga kerja. Sebelumnya pada bulan Agustus, jumlah lapangan kerja baru yang berhasil tercipta sebanyak 201.000 orang. Diprediksi lapangan kerja bulan September kembali mencatatkan kenaikan diatas 180.000 orang. Alhasil pengangguran di AS turun ke 3,8% atau terendah dalam 18 tahun terakhir.
“Situasi ini menciptakan spekulasi terhadap kenaikan Fed rate yang lebih cepat dari prediksi awal. Dollar Index yang merupakan perbandingan dolar AS terhadap mata uang lainnya mencapai level 95. Kenaikan Dollar Index jadi sinyal tren super dollar berlanjut dan menghantam mata uang negara berkembang,” imbuhnya
Pidato pemimpin Negara di PBB tentang bahaya perang dagang khususnya yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri China Wang Yi, menjadi peringatan akan memburuknya volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global hingga tahun depan.
Dari dalam negeri, pengumuman terkait pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke III 2018 oleh BPS yang diprediksi akan berada di kisaran 5,1% atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya.
“Bank Indonesia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini berada dibawah 5,2%. Kekhawatiran ini berdasarkan pada stagnan nya konsumsi, menurunnya kinerja investasi dan net ekspor,” katanya.
Pelaku pasar juga mencermati efek pengumuman inflasi bulan September yang tercatat deflasi 0,18%. Deflasi menunjukkan konsumsi rumah tangga yang melambat. “Yield SBN 10 tahun perlahan menurun ke 8,3% setelah beberapa minggu sebelumnya mencapai 8,7%. Penurunan yield jadi pertanda tingkat resiko mulai mereda,” lanjutnya.
Berbanding terbalik dengan Rupiah, IHSG makin diburu investor karena sebagian saham berperforma cukup baik masih undervalue. Daya beli investor asing yang menguat ketika dolar naik memberikan timing yang pas untuk kembali masuk ke pasar negara berkembang. Return IHSG dalam 1 minggu terakhir positif 0,32%.
“Investor asing masih membukukan net buy (pembelian bersih saham): Rp1,6 triliun sepanjang pekan lalu. Sektor saham yang bullish: Migas, Pertambangan, Farmasi, Telekomunikasi, Bank BUMN, Semen,” pungkasnya.
Artikel Terkait Lainnya :
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Institute Development of Economic and Finance (Indef) Bima Yudhistira Adhinegara mengatakan pelemahan Rupiah dikarenakan faktor domestik dan global. Dia memprediksi, hari ini Rupiah bergerak di level Rp14.950 per USD-Rp15.060 per USD
“Faktor global dan domestik sama-sama mendominasi pergerakan rupiah pekan depan. Kenaikan harga minyak mentah hingga USD85 per barel atau melonjak 28% (ytd) disebabkan oleh berkurangnya pasokan paska boikot minyak Iran yang diserukan Trump,” ujarnya saat dihubungi Okezone, Selasa (2/10/2018)
Bagi negara net importir minyak seperti Indonesia, lanju Bhima naiknya harga minyak dapat menyebabkan defisit migas yang semakin lebar. Permintaan dollar secara alamiah akan terus meningkat. Wacana kenaikan harga BBM pun menjadi momok inflasi hingga akhir tahun 2018.
“Kondisi eksternal diperparah oleh deadlock anggaran belanja pemerintah Italia. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan di daerah Uni Eropa paska krisis utang tahun 2013 lalu. Ditambah ketidakpastian Brexit dibawah pemerintahan Theresa May menimbulkan pelemahan Euro terhadap USD sebesar 1,29% seminggu terakhir,” katanya.
Pada pekan ini Amerika Serikat (AS) akan mengumumkan data tenaga kerja. Sebelumnya pada bulan Agustus, jumlah lapangan kerja baru yang berhasil tercipta sebanyak 201.000 orang. Diprediksi lapangan kerja bulan September kembali mencatatkan kenaikan diatas 180.000 orang. Alhasil pengangguran di AS turun ke 3,8% atau terendah dalam 18 tahun terakhir.
“Situasi ini menciptakan spekulasi terhadap kenaikan Fed rate yang lebih cepat dari prediksi awal. Dollar Index yang merupakan perbandingan dolar AS terhadap mata uang lainnya mencapai level 95. Kenaikan Dollar Index jadi sinyal tren super dollar berlanjut dan menghantam mata uang negara berkembang,” imbuhnya
Pidato pemimpin Negara di PBB tentang bahaya perang dagang khususnya yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri China Wang Yi, menjadi peringatan akan memburuknya volume perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global hingga tahun depan.
Dari dalam negeri, pengumuman terkait pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke III 2018 oleh BPS yang diprediksi akan berada di kisaran 5,1% atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya.
“Bank Indonesia juga memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini berada dibawah 5,2%. Kekhawatiran ini berdasarkan pada stagnan nya konsumsi, menurunnya kinerja investasi dan net ekspor,” katanya.
Pelaku pasar juga mencermati efek pengumuman inflasi bulan September yang tercatat deflasi 0,18%. Deflasi menunjukkan konsumsi rumah tangga yang melambat. “Yield SBN 10 tahun perlahan menurun ke 8,3% setelah beberapa minggu sebelumnya mencapai 8,7%. Penurunan yield jadi pertanda tingkat resiko mulai mereda,” lanjutnya.
Berbanding terbalik dengan Rupiah, IHSG makin diburu investor karena sebagian saham berperforma cukup baik masih undervalue. Daya beli investor asing yang menguat ketika dolar naik memberikan timing yang pas untuk kembali masuk ke pasar negara berkembang. Return IHSG dalam 1 minggu terakhir positif 0,32%.
“Investor asing masih membukukan net buy (pembelian bersih saham): Rp1,6 triliun sepanjang pekan lalu. Sektor saham yang bullish: Migas, Pertambangan, Farmasi, Telekomunikasi, Bank BUMN, Semen,” pungkasnya.
0 Response to "2 Penyebab Ini Membuat Rupiah Anjlok Drastis & Terburuk Sepanjang Tahun Ini"
Posting Komentar