Promo Spesial and Free Ongkir
Baca Juga
Buku kumpulan Sajak Ladang Jagung Taufiq Ismail cetakan kedua 2013 ini terdiri dari 80 halaman yang diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya. Pertama kali diterbitkan oleh Budaja Djaja Dewan Kesenian Jakarta, Juni 1973.
Buku kumpulan sajak ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama berisi tujuh (7) puisi, bagian kedua berisi sebelas (11) puisi, dan bagian ketiga berisi sembilan belas (19) puisi. Jadi secara keseluruhan Sajak Ladang JagungTaufiq Ismail terdiri dari tiga puluh tujuh puisi.
Di bawah ini adalah sajak-sajak Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung :
BUKU PERTAMA
JANUARI 1949
Butiran logam membunuh saudaraku
Dirabanya pinggangnya
Ketika dia rubuh
Sejemput dendam meluluh hatiku
Di mana kuburnya
Semakin jauh
Luka-lukamu
Luka bumi kita
Luka langit yang rapuh
Rumpun-rumpun bambu
Dan lereng akasia
Tempatmu berteduh
Matanya trembesi
Ngembara di padang lalang
Direnggutkan ke bumi
Dengan tujuh letusan
1956
TURUN MALAM
Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perutnya
Di tepi hutan pinus sejenak kita istirahat
Ialah biru yang sepotong, awan menggumpal berkejaran
Gunung benteng terakhir mendukung senja
Matahari terbakar dalam api yang sepi
Garis-garis angin mengucapkan selamat malam
Ke tengah kami tiga regu infanteri
Dalam derap bening akan memasuki lembah
Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya
Sebuah kota di bawah kabut yang jauh
Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga
Mengibarkan tangan angin pada dahanan meluruh
Seorang perlahan menyanyikan lagu republik
Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit
Memicingka mata serta bahu memar mengembara
Rimba akasia di pucuk paling biru
Kutepuk kini pundakmu, bukit benteng setia
Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa
Ialah langkah merayap malam penyergapan
Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya.
1963
SETASIUN TUGU
Tahun empatpuluh tujuh, suatu malam di bulan Mei
Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan
Kleneng andong terputus di jalan berlinangan
Suram ruang setasiun, beranda dan tempat menunggu
Truk menderu dan laskar berlagu lagu perjuangan
Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku
Berhentikan waktu di setasiun Tugu, malam ini
Di suatu malam yang renyai, tahun empatpuluh tujuh
Para penjemput kereta ke Jakarta yang penghabisan
Hujanpu aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh
Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu setasiun
Kakaknya masih menyanyi ‘Satu Tujuh Delapan Tahun’
Udara telah larut ketika tanda naik pelan-pelan
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena
Berkata: lambaikan tanganmu dan panggillah bapa
Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah!
Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.
1963
PENGKHIANATAN
Siapa lagi sekarang akan ditangkap. Menanti
Mungkin sebentar lagi mereka akan datang mengetuk pintuk
Mendorong masuk dan menjerembabkan nasib
Di ambang waktu. Dengan berbagai tuduhan
Barangkali agen mereka ada di antara kita
Dengan pestol Browning di pinggir dalam
Kita tak pernah pasti tahu
Mengapa engkau pucat sekali
Intip cermin di atas lemari
Di luar angin pepohonan damar masih berseru
Atau jip-kah itu yang menderu?
Cek sekali lagi: sudahkah semua dokumen dibakar
Bersihkan sisa abu di lubang kloset
Granat dan sten di dinding-papan
Hapalkan nama-nama palsu kalian
Sudjono! Hentikan goyangan kakimu
Merokoklah. Merokoklah di kolong, kalau tak tahan
Udara terlalu pekap di sini, dalam temaram
Kita makin berpeluh tapi jari kenapa menggigil
Udara panas bergetah dengan bau ikan sardin
Seorang bangkit pelan, mengintip di balik gorden
Tiba-tiba aku berteriak, melolong-lolong
Tjok dan Momo menerkamku tak berbunyi
Dan menyumbat mulutku
Aku berontak, lepas dalam geliat liar
Tapi badan mereka bagai sapi Bali
Lenganku dikunci mereka ke punggung. Badanku
Dibengkok-busurkan
Keluh serak dari mulutku
‘Lepaskan dia. Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku melihat berkeliling. Mereka diam aneh
Lenganku mulai mengulur, lalu bergantungan
Dengan gelisah aku berputar melihat kawan-kawan
Mataku merah dan liar srigala
Meneriakkan ‘Aku pengkhianat!’
Dan aku tersedu, tertengkurep di tengah kamar
Mereka semua diam. Sudjono mematikan rokoknya
Aku menangis seperti anak lima tahun
Yang kehilangan baling-baling kertasnya
‘Tembaklah aku. Mereka sudah tahu semuanya
Sebentar lagi mereka datang
Aku tak tahan Budi, tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda. Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumaah, meneruskan gerakan di
bawah tanah
Budi melucuti belatiku dan pada Momo memberi perintah
Menggamit Tjok dan Maliki dengan tangan perunggu
Perlahan yang lain berangkat satu-satu
Setiap orang memerlukan menoleh padaku sebentar
Di lantai, aku menekuri jubin sebuah meja
Dan Momo yang akan menjalankan perintah komandan
Berdiri dengan belatiku telanjang di tangan.
1963
BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah musium perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan Nopember berhujan
Dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan
‘Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung ke mari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan dalam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menhitung-hitung satyalencana
Dan selalu mepercakapkannya
Alangkah sukarnya bagiku
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan Nopember
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah mimpi keabadian
Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salahguna pengatas-namaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musium ini yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera
Maket pertempuran dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
Gambar laskar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Ke ruang yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar di tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumunia
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku di sana …
GUGUR DALAM PENCEGATAN
TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN
***
Demikianlah cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki setengah baya
Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke musium perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam halaman seratus delapan
Dan sebelum dia pergi
Menyalami dulu kakek Aki
Dengan tangannya yang dingin aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum pagar halaman
Lelaki itu tiba-tiba menghilang.
1964
TENTANG SERSAN NURCHOLIS
Seorang sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Kartu-anggota
Bekas pejuang
Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di zaman revolusi
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
1958
1946: LARUT MALAM
SUARA SEBUAH TRUK
Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
1963
BUKU KEDUA
GERIMIS PUTIH
Malam Oktober yang panjang, dan turun perlahan
Merisik dedahanan telanjang serta deru tertahan
Dada bumilah yang putih dan terlembut
Di pucuk-pucuk ranting keristal sama berpagut
Malam Oktober yang pucat, pergi perlahan
Pada basah mengambang biru pipi danau
Bumi yang terlentang malas, pesolek berpupur salju
Lidah logam berdentangan jauh lonceng gereja
Dan lengkung langit mengucurkan gerimis putih
Perbukitan tepekur, di lerengnya deretan pohon pina
Tiupan angin ‘tak lagi tajam tapi lembut menyuara
Seperti Emilie tak akan pergi. Seperti dada tak akan pedih
Lengkung langit yang mengucurkan gerimis putih
1956
DI TELUK IKAN PUTIH
Di Teluk Ikan Putih, telah terjangkar jasmaniku di pelabuhannya
Pada kapal-kapal yang masuk dan tertambat sehari-hari
Anak-anak camar bertebar atas arus melancar
Dan perbukitan dandan perlente pina-pina berduri
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Pada langitnya keruh asap, bayang bangunan dan baja
Di perut kota bangkitlah malam sambil melenggang
Dan dermaganya hening lelap, berlelehan keristal kaca
Selamat jalan, mala-malam putih berhujan kapas
Lewati perarairan alim dengan pipinya dingin
Masih ada yang berlinangan di sela gugusan karang
Ngenangkan musim mengandung belati dalam angin
Jabatlah teluk kami, persinggahan di tahun datang.
1957
BUNGA ALANG-ALANG
Bunga alang-alang
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Bisik cemara
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Sendiri
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Dan seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu
Di bawah bungur
Kaupungut
Bunga rindu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Flamboyan
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
1963
KABUT DALAM HUJAN JANUARI
Saat angin dan kabut Januari
Berkejaran di atas atap-atap kota
Serasa murid-muridku untukku bernyanyi
‘Hari Ini Nestapa Menyapa’
Adakah dingin dalam bunyi senja
Yang bernapas pelan dalam gugur dedaunan
Sampai padamu dalam warna-warna serupa
Dan menyuarakan angin yang gemetaran
Di sini aku duduk, jendela kabut berjalin dingin
Bunga di luar musimnya ungu mengangguk-angguk
Kujamah hati kamar ini dan merasa sangat ingin
Berkata, di sini kau mestinya merenda duduk
Dan deru di langit yang tak lagi biru
Berdenyar-denyar dalam gugusan badai
Adakah itu yang kauberi nama rindu
Berpijar-pijar namun tak sempat sampai
Adalah jalanan yang masuk dalam malam
Bertebaran serta basah daun berjuta
Naps kabut antara desah pohonan
Menyapaku lengang lewat jendela.
1964
KAFETARIA SABTU PAGI
Menu kafetaria Sabtu pagi :
Sepi
Aku duduk dan minta segelas air es
Dalam hatiku namamu, dan kau tak ada
Orang-orang berbincang dan ketawa
Sebuah dunia oleng dalam kafe ini
Matahari jauh, suara-suara kendaraan riuh
Sebuah dunia oleng dalam sepi
Akupun berdiri, menghadap pergi
Ada tiada, seperti terpandang jua
Ketika di luar memancar
Matahari pagi
Bulan
Mei
1966
ADAKAH SUARA CEMARA
Ati
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah melintas sepintas
Gemersik daunan lepas
Deretan bukit-bukit biru
Menyeru lagu itu
Gugusan mega
Ialah hiasan kencana
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah lautan ladang jagung
Mengombakkan suara itu.
1972
MALAM SEBELUM BADAI
Serangga tidak berbunyi pada musim air membeku
dahan-dahan telanjang hitam permukaan sungai pecah
tajam itik-itik sore hari berenang di antara gugus-
gugus putih suaranya riang namun aneh berkabutlah
pohon-pohon taman pohon-pohon hutan apabila kapas
terperinci bagai debu putih berlayangan dari atas
yang tak jelas batas angin memutar ladang-ladang
jagung pada ujung-ujung atap tetes air mendapat
nyawa kristal bergelantungan malam meniupkan sunyi
berat menekan batang-batang cemara membagi warna
warna putih pada semua permukaan yang ada cahaya
bangun pudar dalam sgi-segi empat di atas bukit
kecil menyusun pesan bisu di manakah tupai-tupai
itu serangga-serangga itu burung-burung flamingo
bersayap merah muda angsa-angsa berenang rata di
rawa-rawadengarlah badai mulai membisik dari jauh
mengirimkan sejuta jarum-jarum dingin lewat udara
padang-padang utara rata lewat menara-menara kantor
cuaca sedikit merah gemerlap saat ini mesin-mesin
tak berbunyi kotak-kotak piringan tidak bernyanyi
kelepak sayap unggas-unggas utara sudah lama silam
cakrawala terbenam bumi menyembunyikan sunyi pepohonan
menggumam sunyi dengar badai mulai bersiul dari
jauh memutar padang-padang jagung rata apakah bunyi
badai adakah badai berbunyi sepanjang ladang-ladang
gandum yang jerami sungai putih membayang langit
hilang udara mengental uap kristal cuaca lenyap
cahaya dengarlah badai jauh membisik mengirimkan
sejuta jarum-jarum alit dan dingin lewat padang-
padang dan ladang-ladang membentang.
1972
PANTUN TERANG BULAN DI MIDWEST
Sebuah bulan sempurna
Bersinar agak merah
Lingkarannya di sana
Awan menggaris bawah
Sungai Mississipi
Lebar dan keruh
Bunyi-bunyi sepi
Amat gemuruh
Ladang-ladang jagung
Rawa-rawa dukana
Serangga mendengung
Sampaikan suara
Cuaca musim gugur
Bukit membisu
Asap yang hancur
Biru abu-abu
Danau yang di sana
Seribu burung belibis
Lereng pohon pina
Angin pun gerimis
1971
LAGU UNGGAS LAGU IKAN
Katak rawa-rawa
Menyanyi sendiri
Pii
Wii
Serangga pepohonan
Daun bermerahan
Angsa menggelepar
Dan bernyanyi
Pii
Wii
Ikan danau jauh
Jerami yang luruh
Langit mengental
Paya-paya kristal
Unggas sembunyi
Hutan pun mati
Bunyi yang sunyi
Pii
Wii
1971
BULAN
Bulan pu merah
Dan tersangkut
Pada rimba musim gugur
Sungai pun lelah
Dan mengangkut
Daun-daun bertabur
Padang-padang jagung
Serangga mendesing
Baling-baling
Berpusing
Lembu mengibas-ngibaskan
Ekornya
Jerami
Terpelanting
Bulan merah
Tersangkut
Ke bawa rimba
Musim gugur.
1972
DOA SI KECIL
Tuhan Yang Maha Kaya
Beri mama kasur tebal di surga
Tuhan Yang Pemurah
Belikan ayah pipa yang indah
Amin.
1963
BUKU KETIGA
MESSINA GIBRALTAR
Rindu pun karena ujung dua benua
Mengeras di julang perbuatan karang
Dendam pun karena biru lekuk Lisboa
Di dada mengenang serasa berlinang.
1958
TAMAN DI TENGAH PULAU KARANG
Di tengah Manhattan menjelang musim gugur
Dalam kepungan rimba baja, pucuknya dalam awan
Engkau terlalu bersendiri dengan danau kecilmu
Dan perlahan melepas hijau daunan
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang lelaki tua duduk menyebar
Remah roti. Sementara itu berkelepak
Burung-burung merpati
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Merpatipun kaget beterbangan
Suara mekanik dan racun rimba baja
menjajarkan pohon-pohon duka
Musim panas terengah melepas napas
Pepohonan meratapinya dengan segeletar ranting
Orang tua itu berkemas dan tersaruk pergi
Badai pun memutar daunan dalam kerucut
Makin meninggi.
1963
SEORANG KULI TUA DI SETASIUN YOKOHAMA
Seorang kuli tua di setasiun Yokohama
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Berdiri agak terbungkuk di depan peron
Handuk kecil di lehernya
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Menari dalam kilau jendela kereta
Ia pun menjamah koporku setelah menatapku
Agak lama
Hari itu musimpanas di bulan Agustus
Udara sangat lembap dan angin tak bertiup
Menyeka dahi ditolaknya lembaran uang
‘Aku dulu di Semarang’
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Iapun kembali ke setasiun terbata-bata
Berkaus dan bersepatu putih
Tiba-tiba wajahnya sangat tua
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Opsir Peta di Jatingaleh berlucut senjata
Terbunuh dalam pertempuran lima hari
Duabelas tahun yang lalu
Hari itu musimpanas di bulan Agustus
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Seorang kuli di setasiun Yokohama
Tiba-tiba wajahnya sangat tua.
1963
PELABUHAN SEBELUM PASANG
Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabanku
Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku
Pelayaran panjang yang mengantarkan kita
Dalam gelombang benua
Di kuala perariran, ketika malam sangat muda
Lentera tiang palka, di ruang makan dan buritan
Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan
Anak arus yang naik dan turun perlahan
Menjelang pelayaran bila badai berbadai
Bercurahan bintang di langit bersemu biru
Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang
Guruh lagumu, wahai pelayaran yang panjang!
Kalau kau bertanya, tiga pluit di tiap pelabuhan
Setiap kita bertolak kembali mengemas jangkar tali-temali
Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang selatan
Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.
1964
JALAN BUKIT BINTANG
Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan
Ada langit. Ada tambang. Ada air. Ada hijauan
Ada leher. Ada cakar
Mata yang sayu memandangmu. Memandangku
Seorang anak tukang sate pukul duabelas malam
Berumur sebelas dan bersepatu abu-abu
Dia memandang malam di luar kafe, dia memandangku
Dia memandangmu
Suara-suara malam metropolitan
Cahaya yang melintas-lintas
Lelaki tua itu, ayahnya, atau pamannya barangkali
Sedang memadamkan bara api
Di depan kafe yang mulai sepi
Ada bayang di jendela flat bermain
Bayang-bayang hitam, bayang-bayang nyaris ungu
Beberapa garis cahaya natrium
Dan tiga lagu Mandarin
Lelaki itu menyiram bara api
Berdesis
Daun meja kafe dari pualam
Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan
Ada langit. Ada tambang. Ada air. Ada hijauan
Ada leher. Ada cakar
Bayang berlarian sepanjang pertokoan
Melompat dari jendela ke jendela
Anak tukang sate itu membenahi piring
Bayang-bayang beriring-iring
Anak itu menjulurkan lehernya
Lelaki itu mengais bara api
Yang hangus
Dan nyaris mati
Depan kafe sepi
Di sini.
1967
FORTALEZA DE MALACA
Ada batu karang, salib hitam di atasnya
Segaris pantai dan ombak yang memburu
Ada bukit, di bawahnya benteng tua
Melintas pohon melaka anginpun menderu
Tiada lagi sejarah, mungkin tinggal sidik jari
Sejumlah pertempuran dan sekian nama-nama
Lalu laut lepas, padang-padang rumput membentang
Dan meriam terpasang depan gereja
Ada batu karang, salib hitam di atasnya
Segaris pantai dan ombak yang memburu
Ada bukit, benteng tua dalam balada
Melintas pohon melaka anginpun menderu.
1967
KERETA MALAM DARATAN ASIA
Ada yang memburu-buru di belakang kereta malam Thai Express
Ada yang menembus-nembus di antara jutaan dedaunan
Angin meluncur, mersik gugur, bayang-bayang rawa malam
Serasa bukit-bukit benua
Serasa lewat jendela tua
Dentang-dentang suara
Ada yang meloncat-loncat di bantalan rel kereta malam
Ada yang menggores garis sinar di atas kelam
Cahaya tak terjangkau,
mungkin sebutir bintang yang dilupakan
Ada bulan lepas sabit, tegak lurus atas bukit
Tanah-tanah hitam
Padang-padang lalang
Pagoda-pagoda tua
Siul sunyi
Di sini …
Burung-burung hutan
Bunyi air terjun
Warna-warna yang hilang
Warna-warna yang berlainan
Siapa saling mengejar? Kini?
Suara.
Warna.
Nafas.
Cahaya.
Musim kemarau yang terlampau keras
Telah singgah di setasiun kecil
Tak jauh dari danau. Di barat telik yang menganga
Penjaja yang menerikkan jajanan
Debu september yang naik perlahan
Ketika tiga rahib, berjubah merah muda
melintas di jalanan
Pecahan-pecahan batu cadas
Sebuah sinyal yang letih
Dan bunyi peluit putih
Ada yang menggariskan jalan paralel ini
Malam diturunkan, bintang-bintang dipasang dan
angin jadi dingin
Bulan lepas sabit
Pun terbit
Serasa bulit-bukit benua
Serasa lewat jembatan tua
Tanah lalang
Padang habis terbakar
Dentang-dentang suara
Dan garis cahaya parabola, tipis dan tajam
Mungkin sebutir bintang yang kulupakan
selama ini
Gugus Bimasakti
Lewat jendela kayu jati
Meluncur angin dingin
Ada kesunyian memburu di belakang itu dan
aku merasa
ingin
Menoleh. Tapi adalah kelam jutaan daunan
Serasa mersik gugur
Serasa di atas rawa malam
Menggaris cahaya parabola
tipis dan tajam
Mungkin sebutir bintang yang terlupakan
Selama ini.
1967
SEMAK-SEMAK ANTENA
Siapa itu mengacungkan tangan ke luar jendela
Tingkat teratas
Atmosfir penuh gelombang
Awan di antara antena
Gelombang elektronik, pita-pita magnetik
Mimpi yang bising
Siapa itu melambaikan tangan di sana
Di antara jarum-jarum antena
Sebuah getaran, baiklah …
Sia-siakah?
Getaran lalu-lintas di bawah
Di sana. Di antara aturan-aturan kepolisian
Di antara gasing karbulator
Udara daerah industri yang kotor
Dalam kerucut asap
Dan perumahan kotak-kotak
Lelaki setengah usia di beranda
Membaca koran sore yang mekanis
Penyiar dengan berita otomatis
Hai! Yang melambaikan tangan itu!
Hai!
1967
PANMUNJON, MUSIM PANAS 1970
Korea, semenanjung itu, matanya terpejam
silau musim panas
dari matahari
ia membaring, memanjang
pada salahsatu
tulangrusuknya, melintang
dan menggelombang
melintas
bukit
demi bukit
yang berumput kering
yang berkawat duri
bagaikan sirip
lumba-lumba
yang berenang
diam-diam
di atas rumputan kering
di atas lautan semak
tidak ada suara
tidak ada lalu lintas tidak ada kanak-kanak
tidak ada gerobak air tidak ada
pemandangan desa
inilah
bukit-bukit yang termasyhur itu
bukit-bukit
kubur
yang ada adalah sepotong perut semenanjung
dan cuaca di antaranya
ternyata tidak dapat kita
menentukan
segal-galanya
di sini sengketa
yang
pernah membakar
sumbu-sumbu logam
dan lalu berpijaran
melompat dari
satu bukit
ke bukit lainnya
telah agak padam dan bersembunyi di antara
rumput-rumput
kering
dan menyelinap di antara
semak-semak
liar
atau bertengger jadi segumpal kanker
pada
sebatang
pohon
kastanye
di
puncak
sebuah
bukit
di sana
dan di belakangnya
adalah sungai
dengan warna air
sedikit keruh
saat ini semua diam
ada juga sesekali
margasatwa berbunyi
ataukah sedikit bernyanyi?
tidak kukenal nama serangga itu
tentunya dia akan keluar dari sarang musim
dinginnya, mengibas-ngibaskan sayapnya yang
bagaikan kertas plastik, mengusap-ngusapkannya
pada kakinya yang beruas-ruas dan mungkin
sekali mengeluarkan bunyi yang aneh
dari gesekan itu atau dari tali tenggorok
mungkin begitu
mereka tentunya
berjuta-juta
di tanah ini
lepas musim semi dan sebelumnya
musim dingin yang kejam, sepatutnya
di bulan Juli ini, pada siang ini
mengeluarkan serempak bunyi
yang bisa amat dasyat
inilah angan-angan yang
tidak sepantasnya terjadi
siang hari
siang ini
karena langit amat bersih
cuaca 80 serta lembab
dan di kawasan tak bertuan ini
jalannya tanah, berdebu sedikit merah
dan bisa mengepul
ketika dua orang anak muda itu
mengenakan jaket tahan peluru
mencoba membunyikan mesin jipnya
sementara di lereng sana
beberapa orang mengawasi
ada yang mencangkung
di gardu demarkasi
tidak kukenal nam-nama mereka
tentunya mereka ketika keluar dari barak-barak musim
dingin, mengibas-ngibaskan lengan dan urat-urat
pinggang yang pegal, mengosok-gosok corong-
corong baja mereka dan mungkin sekali pernah
mengeluarkan bunyi yang aneh itu dari picu-picu
atau tidak seimbangnya komposisi bubuk mesiu
mungkin begitu
mereka tentunya
berpuluh-beratus-ribu
di tanah ini
lepas musim semi, lepas musim dingin yang kejam
dan menjelang musim rontok
di padang lepas berbukit-bukit ini
berpandang-pandangan dalam diam
yang bisa akibatnya jadi amat dasyat
inilah angan-angan yang
tidak sepantasnya terjadi
inilah pilem-pilem tua yang
tidak layak diputar lagi
siang hari
siang hari
sementara langit amat bersih
lembab musim panas yang pengap
di atas sepotong tanah semenanjung
di bawah setangkup langit demarkasi
yang mengawasi bukit-bukit
yang
meng-
ge-
lom-
bang
dan kering
di sana sini sedikit hijau
di semak-semak liar
dengan kuntum-kuntum alit
dan kabut jauh yang agak biru
di sini kesunyian mengenalkan dirinya
dengan suasana sedikit tajam
dan papan-papan penunjuk
yang huruf-hurufnya terlalu persegi
serta hitam, agak luntur
mengenai devisi kedua
tetapi di manakah kawanan
burung-burung itu
yang layaknya beterbangan
dalam formasi atau campur-baur
seperti di khatulistiwa
dan sayap-sayap mereka yang
sebentar nampak sebentar hilang
atau semacam elang
yang mengapung bagaikan menggantung
dalam gerakan yang hampir tanpa gerakan
tetapi di manakah kawanan
itu sekarang
di atas bukit-bukit
di bawah setangkup langit
awan pun tiada
langitpun bagai
baki perak
yang menyilaukan
terlalu polos adanya
lengang ini terasa
tajam
amat
sehabis peperangan udara
dengan unggas-unggas logam
yang bisa
menjerit-jerit garang
dan mencecerkan ledakan
ledakan
luarbiasa
dengan asap
asap
dan kerusakan-kerukan
yang matematis
dan putus-putuslah siklus
biologi ini
karena sirkulasi darah dipotong-
potong, sistem tulang dan saraf
diobrak-abrik, silsilah pohon keluarga
ditebang-tebang, panen biji-bijian
dan buah-buahan dirusak, migrasi burung-burung
jadi kacau, air minum bau kelong-
song dan
air
mata
dan
air
ma-
ta …
tunggal
sebatang
pohon
kastanye
ingat
pada
peluru-peluru
cahaya
dua
puluh
tahun
yang
lalu
1970
MUSIM GUGUR TELAH TURUN DI RUSIA
Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan
sayapnya yang perkasa mengibas-ngibaskannya gemuruh, dan
lena maka rontoklah bulu beludru di langit tua dan biru gugur
dan gugur melayang dan berbaur.
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca
naik mengembang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar
menyerakkan warna dan aroma
Musim panas melayang di atas Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan
angin agak dingin daun-daun beriozkajadi berganti warna burung
raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus
melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan
angin yang agak dingin
Musim gugur talah turun di Rusia
1970
SAPI DAGING PETERNAKAN BRENTON
Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim
Matahari musim rontok bersinar
Tanahnya landai, lupurnya subur
Duaratus meter persegi tai sapi
dalam satu dengkul
Mata rantai produksi kali ini
Adalah kandang-kandangg sapi daging
Peternakan Brenton
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Tangki air sembilan ribu galon
Kamar pengaduk makanan
Timbangan 5000 kilo
Kantor catatan kelahiran
buku hitung dagang
Dan bau serbuk manis
Melayang bersama
Tepung jagung
Hinggap pada suara
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Matahari bersinar miring
Masuk celah peredaran udara
Klinik sapi
Hai!
Para pasien leptospira dan diarrea
Si gemuk ternak penjara
Iowa Beef Packerakan memperinci kalian
Lewatpenjagalan
Perusahaan pengalengan
Industri ke seluruh negeri
Dan adpertensi penuh fantasi!
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
lumpur yang subur
Bau sirup yang manis
Debu tepung jagung
Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim
Matahri musim rontok bersinar
Di atap kandang-kandang
Peternakan sapi daging
Kepunyaan Brenton.
1971
BOLA BERGULING DI BAWAH PANAS MATAHARI
Di antara orang-orang baik hati duduk pencopet
dalam kendaraan ini
Agama telah dijadikan bus tua
Yang mencari penumpang sebanyak-banyaknya
Bus berjalan. Debu berkibar
Pada suatu sore orang melempar senjata ke tengah jalan
Dan ada lagu mars Pemadam Kebakaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Perncitaan adalah nasib yan aneh
Hutan jati ketika rontok daun
Dekat pantai lagi surut
Kanak-kanak main berkejaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Lewat jaringan lalu lintas
Pada suatu pagi aku memejam
Teluk San Francisco, Laut Jawa dan Mediterania
Kemudian sebuah lepau nasi
Orang tua baru selesai dengan mangkuk kahwanya
Di jalan, pergi, hari masih agak pagi
Di atas ada hutan pina
Sawah biasa, ladang lobak dan kebun tebu
Tempat berburu babi
Bola berguling di bawah panas matahari
Medan magnit sepanjang rek kereta api
Bintang terhampar di tempayan langit
Bagai sulaman bintik-bintik cahaya
Atas Padang Giring Giring, atas St. Peterburg lena
Bus jalan. Seorang kanak bercelana pendek
Membawa album hitam
Di tepi jalan kota kecil
Ke muara pelabuhan
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Banyak debu di warung orang Vietnam
Dan Bur mengangkat gelasnya
Pada sore Savannakhet yang sedikit aneh
Kejutan tangis, dan kauacungkan tinju
Pada matahari
Yang pijar
Hidupku serasa bergolek di atas sutera Siam
Seraya menulis sajak-sajak percuma
Bila mengingatmu
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama
Bunyikan lagu biru yang agak ngilu
Duka yang terpental-pental
Alabama
Bus jalan. Chicago muntah
Dan menyiarkan lumpur salju yang hitam
Sebuah kuburan mobil memanggil-manggil
Mengembuskan asam karbon tanpa warna
Dan Malcolm X menudingkan telunjuknya
Bola berguling di bawah panas matahari
Adalah percuma
Menjahit padang pasir
Dengan menara-menara tambang minyak
Bola berguling di bawah panas matahari
Dan kepala Joseph Richard Smith
Maharesi 14 tahun itu berkata:
‘Teruskanlah kalimat ini, Joe :
Jiwamu termaktub dalam iklan-iklan
Lalu …
Dan berkatalah Joe Smith:
‘Jiwaku termaktub dalam iklan-iklan
Dan iklan-iklanku tanpa jiwa’
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama
Bunyikan lagu biru yang ngilu
Duka hitam terpental-pental
Alabama
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Debu berkibar
Dekat pangkalan pedati
Anak itu menendang sedikit keras
Dan bola berguling
Di bawah panas
Matahari.
1972
TREM BERKLENENGAN DI KOTA SAN FRANCISCO
Pagimu yang cerah. San Francisco, sampai padaku di atas bukit
itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mence-
cerkan serbuk kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela sepan-
jang jembatan raksasamu tepat seperti kartu pos bergambar yang
pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh empat tahun yang
silam di Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan
asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan huruf-huruf c, v
x dan y pada pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir.
Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit
yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan
Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan
yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai
tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika
dan asam arang kauserahkan sepenuhnya pada Los Angeles si
buruk muka. Dia cemburu padamu.
Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan melun-
cur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit.
Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-
bagi pada deretan bangunan didnding trem kota, tulang jembatan,
atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduk-
nya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perair-
an dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung
camar mengatasi muara lautan.
Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percin-
taan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh
pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu
dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris, lewat ting-
kap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris.
Kapal-kapal angkat jangkar.
Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar
dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih
berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya
seperti bom waktu. “Aku tidak dengan Amerika menyanyi lagi”
ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.
Amerika tidak menyanyi lagi.
Amerika mengerang.
Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda,
padang-padang Texas dilipat ke tengah, New York berhamburan
ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California
tergulung-gulung. Walt Whitman memeras Amerika bagai sehelai
karbon bekas, dan si tua itu menuangkan bir Milwaukee berbusa
ke atasnya.
Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering
Yang dikunyah lambat-lambat
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai
bunga tulipa, menelisik jaringan kawat trm-trem yang
berklenengan dan buang air tepat di atas kantoe asuransi.
Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.
1972
PEPATAH PETITIH BARU
Mata
Gajah di seberang lautan tak tampak
Kuman di pelupuk mata juga tak tampak
Humas
Menepuk air di dulang
Terpercik ke muka sendiri
Kemudian dilap dengan press release
Ekonomi
Sesal dahulu pendapatan
Sesal kemudian pengeluaran
Pendidikan
Guru kencing berdiri
Murid mengencingi guru
Hujan
Air hujan turunnya ke cucuran atap
Kalau banjir atapnya yang turun ke air
Nasionalisme
Hujan batu di negeri orang
Hujan emas di negeri sendiri
Lebih enak di negeri sendiri
Penderitaan
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersakit-sakit berkepanjangan
PBB
Duduk sama rendah
Berdiri lain-lain tingginya
Gunung Api
Maksud hati memeluk gunung
Apa daya gunungnya meletus
Pers
Buruk muka pers dibelah
1972
BAGAIMANA KALAU
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah
alpukat
Bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus
kita beri mandat
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia
Monaco
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung
Sahari
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop
Bagimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan
Rendra
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang
terjadi pernah kita rancangkan
Bagaimana kalau akustik dunia jadi demikian sepenuhnya sehingga
di kamar tidur kau sampai debu bom Vietnam, gemersik
sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi
serta suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri
presisi dan margasatwa Afrika
Bagaiman kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan
kita pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya
bagaimana lagi.
1971
ENGKAUKAH ITU, YANG BERDIRI
DI TIKUNGAN ITU
Pada saat penyebrangan sesudah makan siang, lepas pantai
Gilimanuk, kulihat kau bersandar di sana sepuluh
tahun yang silam, pohon-pohon palma di belakangmu
Ada suatu saat di Margomulyo, sehabis sore Yogya dengan kuku
burung balam mengantar malam, awan dan cahaya
sama tenggelam
Berlayar di lautan Jawa dan Hindia, panggilan peluit uap
cerobong asap dan lemparan tali sisal, tak sampai
mencapai pantai
Berdiri di pojok lapangan Banteng sebelum ada terminal, engkau
melintas sepintas serasa tidak aku kaukenal, kemudian
kita naik oplet tua Willys tahun lima dua
Engkaukah itu depan warung desa Ayuthya, di pojok Metro
Trocadero, di antara rak-rak buku Atheneo, di
kampus pedalaman Indonesia yang bentuknya seperti
gudang-gudang sedeerhana
Aku mencatatnya semua dan melupakannya semua, ketika makan
masakan Szechwan yang lezat citrarasanya atau ketika
bersama misi militer, berdiri memandang padang-padang
perbatasan negara yang dibagi dua, selatan dan utara
Para pengemis Colombo, Weleri, Marble Arc Underground,
depan museum Tashkent, Ginza, pasar Senen Lama,
Fifth Avenue, kalian semua membikin hatiku ngilu,
tapi sekaligus menyindirku, bahwa sebenarnya daku
juga pengemis kehidupan, dalam ukuran tertentu
Aku mencatatmu dan mencoba melupakanmu
Adalah pepustakaan, kuburan dan rumah yatim piatu yang amat
dalam mencekamku, ke manapun aku pergi kucoba
menjenguk jendela dan pagarmu, adakah engkau di
situ dan selintas, engkau ada di situ
Pagi ini aku sarapan agak banyak, waktuku adalah ujung musim
semi dan pangkal musim panas, losmenku Stanhope
Placenomor 4, telepon 01-262-4070, kamarku seharga
dua paun tambah pelayanan sepuluh persen
Berdiri di West End memikkirkan poster-poster teater, suara-suara
orang Italia menjajakan hamburger dengan saus tomat,
engkaupun lewat, berjalan satu tikungan dan berdiri
depan sebuah boutique lalu kita menatap model dasi
serta baju berwarna-warna gila dan biru tua
Restoran Aljazair itu amat lezat, sup ikan Paris luarbiasa dan
masakan Kanton adalah makanan raja-raja, namun aku
rindu juga lepau nasi Padang dan waryng tongseng
Jawa yang bukan main lambannya, karena mungkin
engkau, ada di sana
Engkau campur-baur dan seringkali kabur, namun aku menca-
tatmu, untuk rindu dan lalu kucoba, melupakanmu.
1971
KEMBALIKAN INDONESIA KEPADAKU
Hari depan Indonesia adalah duaratus juta mulut yang menganga
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian
berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang
malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena
seratus juta penduduknya
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong
siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15
watt
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan teng-
gelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-
renang di atasnya
Hari depan Indonesia adalah duaratus juta mulut yang menga-
nga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 watt, seba-
gian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-
renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa saratus juta bola lampu 15 watt ke dasar lautan
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang
malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena
saratus juta penduduknya
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian
berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Kembalikan
Indonesia
padaku
1971
BERI DAKU SUMBA
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas mulai dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossanova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternah melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
1970
AKU INGIN MENULIS PUISI, YANG
Aku ingin menulis puisi, yang tidak semata-mata berurusan
dengan cuaca, warna, cahaya, suara dan mega.
Aku ingin menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-
lompat di pekarangan sekolah, yang main gundu dan
petak umpet di halaman rumah, yang menangis kare-
na tidak naik kelas tahun ini.
Aku ingin menulis puisi yang membuat orang berumur 55 merasa
25, yang berumur 24 merasa 54 tahun, di manapun
mereka membacanya, bagaimanapun mereka memba-
canya: duduk atau berdiri
Aku ingin menulis puisi untuk penjual rokok-kretek, tukang ja-
hit kemeja, penanam lobak dan bawang perai, penam-
bang sampah di sungai, penulis program komputer
dan disertai ilmu bedah, sehingga mereka berhenti
sekejap dari kerja mereka dan sempat berkata: hidup
ini, lumayan indah.
Aku ingin menulis syair buat pensiunan-pensiunan guru SD, pe-
lamar-pelamar lowongan kerja, para langganan rumah
gadai, plonco-plonci negeri dan swasta, pasien-pasien
penyakit asma, kencing gula serta penganggur-
pengganggur sarjana, sehingga bila mereka baca bebera-
pa sajakku, mereka bicara: hidup di In donesia, mung-
kin harapan masih ada.
Aku ingin menulis sajak yang penuh protein. sekedar zat kapur,
belerang serta vitamin utama, sehingga pusi-puisiku
ada sedikit berguna bagi kerja dokter-dokter umum,
dokter hewan, insinyur pertanian dan peternakan.
Aku ingin menulis puisi bagi para pensiunan yang pensiunnya
dipersulit otorisasinya, tahanan politik dan kriminal,
siapa juga yang tersiksa, sehinnga mereka ingat bahwa
keadilan, tak putus diperjuangkan.
Aku ingin menulis sajak yang bisa membuat orang ingat pada
Tuhan di waktu senang, senang yang sedang-sedang
atau yang berlebihan.
Barangkali aku tak bisa menulis demikian.
Tapi aku kepingin menuliskannya.
Aku ingin.
Aku ingin menulis puisi yang bisa dibidikkan tepat pada tubuh
kehidupan, menembus selaput lendir, jaringan lemak,
susunan daging, pembuluh darah arteri dan vena,
mengetuk tulang dan membenam sumsum, sehingga
perubahan fisika dan kimiawi, terjadi.
Aku ingin menulis puisi di buku catatn rapat-rapat Bappenas,
pada agenda muktamar mahasiswa, surat-surat cinta
muda-mudi Indonesia, pada kolom kiri lembaran
wesel yang tiap bulan dikirimkan orangtua pada
anaknya yang sekolah jauh di kota.
Aku ingin menulissyair pada cetak-biru biro-biro arsitek, pada
payung penerjun terkembang di udara, pada iklan-
iklan jamu bersalin, pada tajuk rencana koran ibukota
dan pada lagu pop anak-anak muda.
Aku ingin menulis sekali lagi puisi mengenai jendral Sudirman
yang berparu-paru satu, serta tentang sersan dan
prajurit yang terjun malam di Irian Barat kemudian
tersangkut di pepohonan raksasa atau terbenam di
rawa-rawa malaria.
Aku ingin menulis syair yang mencegah kopral-kopral tak pernah
bertempur agar berhenti menempelengi sopir-sopir
oplet yang tarikannya payah.
Aku ingin menulis sajak ambisius yang bisa menghentikan perang
saudara dan perang tidak saudara, puisi konsep gencat-
an senjata, puisi yang bisa membatalkan pemilihan
umum, menambal birokrasi, menghibur para pengungsi
dan menyembuhkan pasien-pasien psikiatri.
Aku ingin menulis seratus pantun buat anak-anak berumur lima
dan sepuluh tahun sehingga bila dibacakan buat me-
reka, maka mereka tertawa dan gigi mereka yang putih
dan rata jelas kelihatan.
Aku ingin menulis puisi yang menyebabkan nasi campur dimakan
sarasa hidangan hotel-hotel mahal dan yang menyebab-
kan petani-petani membatalkan niat naik haji dengan
menggadaikan sawah dan perhiasan emas ssang istri.
Aku ingin menulis puisi tentang merosotnya pendidikan, tentang
Nabi Adam, keluarga berencana, sepur Hikari, lembah
Anai, Amirmachmud, Piccadily Circus, taman kanak-
kanak, Opsus, Raja Idrus, nasi gudeg, kota Samarkand,
Raymond Westerling, Laos , Emil Salim, Roxas Boule-
vard, Ja’far Nur Aidit, modal asing, Chekpoint Charli,
Zainal Zakse, utang $ 3 milyard, pelabuhan Rotter-
dam, Champs Elysses dan bayi ajaib, semua – – nya
disusun kembali menurut urutan abjad.
Aku ingin menulis puisi yang mencegah kemungkinan
pedagang-pedagang Jepang merampoki kayu di rimba
dalam Kalimantan, melarang penggali minyak dan
penanam modal mancanegara menyuapi penguasa
yang lemah iman, dan melarang sogokan uang pada
pejabat bea cukai serta pengadilan.
Aku ingin menggubah syair yang menghapuskan dendam anak-
anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya
terbunuh pada waktu pemberontakan komunis yang
telah silam.
Aku ingin menulis gurindam yang menghapuskan dendam anak-
anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya
dibunuh pada waktu pemberontakan komunis yang
telah silam.
Barangkali aku tidak sempat, menuliskannya semua.
Tapi aku ingin menulis puisi-puisi demikian.
Aku ingin.
1971
Catatan :
Taufiq Ismail lahir di bukittinggi, Sumatra Barat, 25 Juni 1937. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan UI, Bogor. Tahun 1956/1957 ia memperoleh beasiswa dari American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, AS.
Kemudian menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Returnees AFSIS (IRA), 1958-1960. Selain giat menulis, semasa studinya aktif dalam organisasi pelajar dan mahasiswa, di antaranya pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UI (1960-1962), dan kemudian bekerja di PT Unilever Indonesia, di antaranya pernah menjadi Manajer Hubungan Luar sampai pensiun.
Buku-buku yang telah terbit yaitu dua kumpulan puisi Tirani dan Benteng (1966). Sebelum itu Tintamas telah menerbitkan sajak-sajak Taufiq dalam antologi Manifestasi (1963). Bersama Ali Audah dan Goenawan Muhamad dia menerjamahkan karya Muhammad Iqbal The Recontruction of Religious Thought in Islam menjadi Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (1965).
Karya-karyanya yang lain : Buku Tamu Musium Perjuangan (1965), Puisi-Puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit (1971), Sajak Ladang Jagung (1973), Tirani dan Benteng (1993), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1998), dan setelah 55 tahun berkarya di dunia sastra Indonesia, karya lengkapnya diterbitkan lagi pada tahun 2008 menjadi empat buku, yaitu
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008,
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 2: Himpunan Tulisan 1960-2008,
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3: Himpunan Tulisan 1960-2008,
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4: Himpunan Lirik Lagu 1972-2008.
Demikian puisi-puisi karya Taufiq Ismail yang terdapat dalam kumpulan puisi yang berjudul Sajak Ladang Jagung Taufiq Ismail, semoga bisa menambah wawasan, pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.
Buku kumpulan sajak ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pertama berisi tujuh (7) puisi, bagian kedua berisi sebelas (11) puisi, dan bagian ketiga berisi sembilan belas (19) puisi. Jadi secara keseluruhan Sajak Ladang JagungTaufiq Ismail terdiri dari tiga puluh tujuh puisi.
Di bawah ini adalah sajak-sajak Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung :
BUKU PERTAMA
JANUARI 1949
Butiran logam membunuh saudaraku
Dirabanya pinggangnya
Ketika dia rubuh
Sejemput dendam meluluh hatiku
Di mana kuburnya
Semakin jauh
Luka-lukamu
Luka bumi kita
Luka langit yang rapuh
Rumpun-rumpun bambu
Dan lereng akasia
Tempatmu berteduh
Matanya trembesi
Ngembara di padang lalang
Direnggutkan ke bumi
Dengan tujuh letusan
1956
TURUN MALAM
Sebuah lembah di depan, sungai menggeliat di perutnya
Di tepi hutan pinus sejenak kita istirahat
Ialah biru yang sepotong, awan menggumpal berkejaran
Gunung benteng terakhir mendukung senja
Matahari terbakar dalam api yang sepi
Garis-garis angin mengucapkan selamat malam
Ke tengah kami tiga regu infanteri
Dalam derap bening akan memasuki lembah
Ada bintang mulai kemerlap membisik cahaya
Sebuah kota di bawah kabut yang jauh
Gunung-gunung bergetar panji malam semakin jelaga
Mengibarkan tangan angin pada dahanan meluruh
Seorang perlahan menyanyikan lagu republik
Bersandar di cemara, laras senjata menunjuk langit
Memicingka mata serta bahu memar mengembara
Rimba akasia di pucuk paling biru
Kutepuk kini pundakmu, bukit benteng setia
Sehabis di punggungmu kami sembahyang dalam doa
Ialah langkah merayap malam penyergapan
Ketika sebutir bintang gemerlap membisik cahaya.
1963
SETASIUN TUGU
Tahun empatpuluh tujuh, suatu malam di bulan Mei
Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai
Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah
Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan
Kleneng andong terputus di jalan berlinangan
Suram ruang setasiun, beranda dan tempat menunggu
Truk menderu dan laskar berlagu lagu perjuangan
Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak dipangku
Berhentikan waktu di setasiun Tugu, malam ini
Di suatu malam yang renyai, tahun empatpuluh tujuh
Para penjemput kereta ke Jakarta yang penghabisan
Hujanpu aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh
Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah
Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan
Malam makin lembab, kuning gemetar lampu setasiun
Kakaknya masih menyanyi ‘Satu Tujuh Delapan Tahun’
Udara telah larut ketika tanda naik pelan-pelan
Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat
Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena
Berkata: lambaikan tanganmu dan panggillah bapa
Wahai ibu muda, seharian atap-atap kota untukmu berbasah!
Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Klender
Seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah
Uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah terakhir.
1963
PENGKHIANATAN
Siapa lagi sekarang akan ditangkap. Menanti
Mungkin sebentar lagi mereka akan datang mengetuk pintuk
Mendorong masuk dan menjerembabkan nasib
Di ambang waktu. Dengan berbagai tuduhan
Barangkali agen mereka ada di antara kita
Dengan pestol Browning di pinggir dalam
Kita tak pernah pasti tahu
Mengapa engkau pucat sekali
Intip cermin di atas lemari
Di luar angin pepohonan damar masih berseru
Atau jip-kah itu yang menderu?
Cek sekali lagi: sudahkah semua dokumen dibakar
Bersihkan sisa abu di lubang kloset
Granat dan sten di dinding-papan
Hapalkan nama-nama palsu kalian
Sudjono! Hentikan goyangan kakimu
Merokoklah. Merokoklah di kolong, kalau tak tahan
Udara terlalu pekap di sini, dalam temaram
Kita makin berpeluh tapi jari kenapa menggigil
Udara panas bergetah dengan bau ikan sardin
Seorang bangkit pelan, mengintip di balik gorden
Tiba-tiba aku berteriak, melolong-lolong
Tjok dan Momo menerkamku tak berbunyi
Dan menyumbat mulutku
Aku berontak, lepas dalam geliat liar
Tapi badan mereka bagai sapi Bali
Lenganku dikunci mereka ke punggung. Badanku
Dibengkok-busurkan
Keluh serak dari mulutku
‘Lepaskan dia. Dan kau diam’
Kata Budi
‘Kau terlalu tegang’
Diapun menuding ke sudut kamar
Aku terhuyung ke sana, dua langkah
Dan tiga langkah surut kembali
Dalam gerakan terpincang, kataku serak:
‘Budi, aku telah berkhianat’
Seluruh kamar tegang dan pekat
Halilintar meledak dalam ruangan
Mata mereka nanap, duka perjuangan semakin berat
Angin pepohonan damar menebas tajam bagai kelewang
‘Budi, aku sudah berkhianat’
Aku melihat berkeliling. Mereka diam aneh
Lenganku mulai mengulur, lalu bergantungan
Dengan gelisah aku berputar melihat kawan-kawan
Mataku merah dan liar srigala
Meneriakkan ‘Aku pengkhianat!’
Dan aku tersedu, tertengkurep di tengah kamar
Mereka semua diam. Sudjono mematikan rokoknya
Aku menangis seperti anak lima tahun
Yang kehilangan baling-baling kertasnya
‘Tembaklah aku. Mereka sudah tahu semuanya
Sebentar lagi mereka datang
Aku tak tahan Budi, tembaklah aku di sini’
Budi memberi tanda. Senjata-senjata dibongkar dari dinding
Dengan perkasa mereka siap berangkat dalam formasi rahasia
Mereka akan menyelinap lewat gang belakang
Sepanjang urat-urat kota memperjuangkan kemerdekaan
Di sela rapatnya rumah-rumaah, meneruskan gerakan di
bawah tanah
Budi melucuti belatiku dan pada Momo memberi perintah
Menggamit Tjok dan Maliki dengan tangan perunggu
Perlahan yang lain berangkat satu-satu
Setiap orang memerlukan menoleh padaku sebentar
Di lantai, aku menekuri jubin sebuah meja
Dan Momo yang akan menjalankan perintah komandan
Berdiri dengan belatiku telanjang di tangan.
1963
BUKU TAMU MUSIUM PERJUANGAN
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah musium perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan Nopember berhujan
Dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman seratus delapan
‘Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung ke mari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan dalam penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap lukisan-lukisan
Dan potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menhitung-hitung satyalencana
Dan selalu mepercakapkannya
Alangkah sukarnya bagiku
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan Nopember
Datang sore ini, menghayati musium yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah mimpi keabadian
Dan belum terpikir oleh kita masalah kebendaan
Penggelapan dan salahguna pengatas-namaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musium ini yang lengang
Dari lemari kaca tempat naskah-naskah berharga
Ke sangkutan ikat kepala, sangkur-sangkur berbendera
Maket pertempuran dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang dari baja hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai berdebu
Gambar laskar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh kembali
Ke ruang yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir pelan-pelan
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar di tingkat bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping alumunia
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku di sana …
GUGUR DALAM PENCEGATAN
TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN
***
Demikianlah cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki setengah baya
Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh, tubuh amat kurusnya
Datang ke musium perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rinai tetes-tetes di jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam halaman seratus delapan
Dan sebelum dia pergi
Menyalami dulu kakek Aki
Dengan tangannya yang dingin aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum pagar halaman
Lelaki itu tiba-tiba menghilang.
1964
TENTANG SERSAN NURCHOLIS
Seorang sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Kartu-anggota
Bekas pejuang
Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di zaman revolusi
Setiap siang
Terdengar siulnya
Di bengkel arloji
1958
1946: LARUT MALAM
SUARA SEBUAH TRUK
Sebuah truk laskar menderu
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
‘Sudah Bebas Negeri Kita’
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
‘Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?’
1963
BUKU KEDUA
GERIMIS PUTIH
Malam Oktober yang panjang, dan turun perlahan
Merisik dedahanan telanjang serta deru tertahan
Dada bumilah yang putih dan terlembut
Di pucuk-pucuk ranting keristal sama berpagut
Malam Oktober yang pucat, pergi perlahan
Pada basah mengambang biru pipi danau
Bumi yang terlentang malas, pesolek berpupur salju
Lidah logam berdentangan jauh lonceng gereja
Dan lengkung langit mengucurkan gerimis putih
Perbukitan tepekur, di lerengnya deretan pohon pina
Tiupan angin ‘tak lagi tajam tapi lembut menyuara
Seperti Emilie tak akan pergi. Seperti dada tak akan pedih
Lengkung langit yang mengucurkan gerimis putih
1956
DI TELUK IKAN PUTIH
Di Teluk Ikan Putih, telah terjangkar jasmaniku di pelabuhannya
Pada kapal-kapal yang masuk dan tertambat sehari-hari
Anak-anak camar bertebar atas arus melancar
Dan perbukitan dandan perlente pina-pina berduri
Di Teluk Ikan Putih menutup siang musim semi panjang
Pada langitnya keruh asap, bayang bangunan dan baja
Di perut kota bangkitlah malam sambil melenggang
Dan dermaganya hening lelap, berlelehan keristal kaca
Selamat jalan, mala-malam putih berhujan kapas
Lewati perarairan alim dengan pipinya dingin
Masih ada yang berlinangan di sela gugusan karang
Ngenangkan musim mengandung belati dalam angin
Jabatlah teluk kami, persinggahan di tahun datang.
1957
BUNGA ALANG-ALANG
Bunga alang-alang
Di tebing kemarau
Menggelombang
Mengantar
Bisik cemara
Dalam getar
Di jalan setapak
Engkau berjalan
Sendiri
Ketika pepohon damar
Menjajari
Bintang pagi
Sesudah topan
Membarut
Warna jingga
Dan seribu kalong
Bergayut
Di puncak randu
Di bawah bungur
Kaupungut
Bunga rindu
Sementara awan
Menyapu-nyapu
Flamboyan
Kemarau pun
Berangkat
Dengan kaki tergesa
Dalam angin
Yang menerbangkan
Serbuk bunga.
1963
KABUT DALAM HUJAN JANUARI
Saat angin dan kabut Januari
Berkejaran di atas atap-atap kota
Serasa murid-muridku untukku bernyanyi
‘Hari Ini Nestapa Menyapa’
Adakah dingin dalam bunyi senja
Yang bernapas pelan dalam gugur dedaunan
Sampai padamu dalam warna-warna serupa
Dan menyuarakan angin yang gemetaran
Di sini aku duduk, jendela kabut berjalin dingin
Bunga di luar musimnya ungu mengangguk-angguk
Kujamah hati kamar ini dan merasa sangat ingin
Berkata, di sini kau mestinya merenda duduk
Dan deru di langit yang tak lagi biru
Berdenyar-denyar dalam gugusan badai
Adakah itu yang kauberi nama rindu
Berpijar-pijar namun tak sempat sampai
Adalah jalanan yang masuk dalam malam
Bertebaran serta basah daun berjuta
Naps kabut antara desah pohonan
Menyapaku lengang lewat jendela.
1964
KAFETARIA SABTU PAGI
Menu kafetaria Sabtu pagi :
Sepi
Aku duduk dan minta segelas air es
Dalam hatiku namamu, dan kau tak ada
Orang-orang berbincang dan ketawa
Sebuah dunia oleng dalam kafe ini
Matahari jauh, suara-suara kendaraan riuh
Sebuah dunia oleng dalam sepi
Akupun berdiri, menghadap pergi
Ada tiada, seperti terpandang jua
Ketika di luar memancar
Matahari pagi
Bulan
Mei
1966
ADAKAH SUARA CEMARA
Ati
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah melintas sepintas
Gemersik daunan lepas
Deretan bukit-bukit biru
Menyeru lagu itu
Gugusan mega
Ialah hiasan kencana
Adakah suara cemara
Mendesing menderu padamu
Adakah lautan ladang jagung
Mengombakkan suara itu.
1972
MALAM SEBELUM BADAI
Serangga tidak berbunyi pada musim air membeku
dahan-dahan telanjang hitam permukaan sungai pecah
tajam itik-itik sore hari berenang di antara gugus-
gugus putih suaranya riang namun aneh berkabutlah
pohon-pohon taman pohon-pohon hutan apabila kapas
terperinci bagai debu putih berlayangan dari atas
yang tak jelas batas angin memutar ladang-ladang
jagung pada ujung-ujung atap tetes air mendapat
nyawa kristal bergelantungan malam meniupkan sunyi
berat menekan batang-batang cemara membagi warna
warna putih pada semua permukaan yang ada cahaya
bangun pudar dalam sgi-segi empat di atas bukit
kecil menyusun pesan bisu di manakah tupai-tupai
itu serangga-serangga itu burung-burung flamingo
bersayap merah muda angsa-angsa berenang rata di
rawa-rawadengarlah badai mulai membisik dari jauh
mengirimkan sejuta jarum-jarum dingin lewat udara
padang-padang utara rata lewat menara-menara kantor
cuaca sedikit merah gemerlap saat ini mesin-mesin
tak berbunyi kotak-kotak piringan tidak bernyanyi
kelepak sayap unggas-unggas utara sudah lama silam
cakrawala terbenam bumi menyembunyikan sunyi pepohonan
menggumam sunyi dengar badai mulai bersiul dari
jauh memutar padang-padang jagung rata apakah bunyi
badai adakah badai berbunyi sepanjang ladang-ladang
gandum yang jerami sungai putih membayang langit
hilang udara mengental uap kristal cuaca lenyap
cahaya dengarlah badai jauh membisik mengirimkan
sejuta jarum-jarum alit dan dingin lewat padang-
padang dan ladang-ladang membentang.
1972
PANTUN TERANG BULAN DI MIDWEST
Sebuah bulan sempurna
Bersinar agak merah
Lingkarannya di sana
Awan menggaris bawah
Sungai Mississipi
Lebar dan keruh
Bunyi-bunyi sepi
Amat gemuruh
Ladang-ladang jagung
Rawa-rawa dukana
Serangga mendengung
Sampaikan suara
Cuaca musim gugur
Bukit membisu
Asap yang hancur
Biru abu-abu
Danau yang di sana
Seribu burung belibis
Lereng pohon pina
Angin pun gerimis
1971
LAGU UNGGAS LAGU IKAN
Katak rawa-rawa
Menyanyi sendiri
Pii
Wii
Serangga pepohonan
Daun bermerahan
Angsa menggelepar
Dan bernyanyi
Pii
Wii
Ikan danau jauh
Jerami yang luruh
Langit mengental
Paya-paya kristal
Unggas sembunyi
Hutan pun mati
Bunyi yang sunyi
Pii
Wii
1971
BULAN
Bulan pu merah
Dan tersangkut
Pada rimba musim gugur
Sungai pun lelah
Dan mengangkut
Daun-daun bertabur
Padang-padang jagung
Serangga mendesing
Baling-baling
Berpusing
Lembu mengibas-ngibaskan
Ekornya
Jerami
Terpelanting
Bulan merah
Tersangkut
Ke bawa rimba
Musim gugur.
1972
DOA SI KECIL
Tuhan Yang Maha Kaya
Beri mama kasur tebal di surga
Tuhan Yang Pemurah
Belikan ayah pipa yang indah
Amin.
1963
BUKU KETIGA
MESSINA GIBRALTAR
Rindu pun karena ujung dua benua
Mengeras di julang perbuatan karang
Dendam pun karena biru lekuk Lisboa
Di dada mengenang serasa berlinang.
1958
TAMAN DI TENGAH PULAU KARANG
Di tengah Manhattan menjelang musim gugur
Dalam kepungan rimba baja, pucuknya dalam awan
Engkau terlalu bersendiri dengan danau kecilmu
Dan perlahan melepas hijau daunan
Bebangku panjang dan hitam, lusuh dan retak
Seorang lelaki tua duduk menyebar
Remah roti. Sementara itu berkelepak
Burung-burung merpati
Di lingir Manhattan bergelegar pengorek karang
Merpatipun kaget beterbangan
Suara mekanik dan racun rimba baja
menjajarkan pohon-pohon duka
Musim panas terengah melepas napas
Pepohonan meratapinya dengan segeletar ranting
Orang tua itu berkemas dan tersaruk pergi
Badai pun memutar daunan dalam kerucut
Makin meninggi.
1963
SEORANG KULI TUA DI SETASIUN YOKOHAMA
Seorang kuli tua di setasiun Yokohama
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Berdiri agak terbungkuk di depan peron
Handuk kecil di lehernya
Beratus penumpang turun sepanjang ruangan
Menari dalam kilau jendela kereta
Ia pun menjamah koporku setelah menatapku
Agak lama
Hari itu musimpanas di bulan Agustus
Udara sangat lembap dan angin tak bertiup
Menyeka dahi ditolaknya lembaran uang
‘Aku dulu di Semarang’
Dengan hormat diucapkannya selamat jalan
Iapun kembali ke setasiun terbata-bata
Berkaus dan bersepatu putih
Tiba-tiba wajahnya sangat tua
Di kapal kenapa kuingat kakak sepupuku
Opsir Peta di Jatingaleh berlucut senjata
Terbunuh dalam pertempuran lima hari
Duabelas tahun yang lalu
Hari itu musimpanas di bulan Agustus
Ketika ekspres tengah hari masuk dari ibukota
Seorang kuli di setasiun Yokohama
Tiba-tiba wajahnya sangat tua.
1963
PELABUHAN SEBELUM PASANG
Jika kau bertanya, kesepian, maka lautlah jawabanku
Jika kau menyapa, kesedihan, maka topanlah ujarku
Pelayaran panjang yang mengantarkan kita
Dalam gelombang benua
Di kuala perariran, ketika malam sangat muda
Lentera tiang palka, di ruang makan dan buritan
Gemetaran dalam garis putus-putus di pelabuhan
Anak arus yang naik dan turun perlahan
Menjelang pelayaran bila badai berbadai
Bercurahan bintang di langit bersemu biru
Gemulung mendung yang menyarankan napas gelombang
Guruh lagumu, wahai pelayaran yang panjang!
Kalau kau bertanya, tiga pluit di tiap pelabuhan
Setiap kita bertolak kembali mengemas jangkar tali-temali
Adalah jurang-jurang lautan dengan kandil bintang selatan
Bertetaplah ngembara untuk pelayaran panjang sekali.
1964
JALAN BUKIT BINTANG
Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan
Ada langit. Ada tambang. Ada air. Ada hijauan
Ada leher. Ada cakar
Mata yang sayu memandangmu. Memandangku
Seorang anak tukang sate pukul duabelas malam
Berumur sebelas dan bersepatu abu-abu
Dia memandang malam di luar kafe, dia memandangku
Dia memandangmu
Suara-suara malam metropolitan
Cahaya yang melintas-lintas
Lelaki tua itu, ayahnya, atau pamannya barangkali
Sedang memadamkan bara api
Di depan kafe yang mulai sepi
Ada bayang di jendela flat bermain
Bayang-bayang hitam, bayang-bayang nyaris ungu
Beberapa garis cahaya natrium
Dan tiga lagu Mandarin
Lelaki itu menyiram bara api
Berdesis
Daun meja kafe dari pualam
Ada sesuatu jadi, perlahan tengah jalan
Ada langit. Ada tambang. Ada air. Ada hijauan
Ada leher. Ada cakar
Bayang berlarian sepanjang pertokoan
Melompat dari jendela ke jendela
Anak tukang sate itu membenahi piring
Bayang-bayang beriring-iring
Anak itu menjulurkan lehernya
Lelaki itu mengais bara api
Yang hangus
Dan nyaris mati
Depan kafe sepi
Di sini.
1967
FORTALEZA DE MALACA
Ada batu karang, salib hitam di atasnya
Segaris pantai dan ombak yang memburu
Ada bukit, di bawahnya benteng tua
Melintas pohon melaka anginpun menderu
Tiada lagi sejarah, mungkin tinggal sidik jari
Sejumlah pertempuran dan sekian nama-nama
Lalu laut lepas, padang-padang rumput membentang
Dan meriam terpasang depan gereja
Ada batu karang, salib hitam di atasnya
Segaris pantai dan ombak yang memburu
Ada bukit, benteng tua dalam balada
Melintas pohon melaka anginpun menderu.
1967
KERETA MALAM DARATAN ASIA
Ada yang memburu-buru di belakang kereta malam Thai Express
Ada yang menembus-nembus di antara jutaan dedaunan
Angin meluncur, mersik gugur, bayang-bayang rawa malam
Serasa bukit-bukit benua
Serasa lewat jendela tua
Dentang-dentang suara
Ada yang meloncat-loncat di bantalan rel kereta malam
Ada yang menggores garis sinar di atas kelam
Cahaya tak terjangkau,
mungkin sebutir bintang yang dilupakan
Ada bulan lepas sabit, tegak lurus atas bukit
Tanah-tanah hitam
Padang-padang lalang
Pagoda-pagoda tua
Siul sunyi
Di sini …
Burung-burung hutan
Bunyi air terjun
Warna-warna yang hilang
Warna-warna yang berlainan
Siapa saling mengejar? Kini?
Suara.
Warna.
Nafas.
Cahaya.
Musim kemarau yang terlampau keras
Telah singgah di setasiun kecil
Tak jauh dari danau. Di barat telik yang menganga
Penjaja yang menerikkan jajanan
Debu september yang naik perlahan
Ketika tiga rahib, berjubah merah muda
melintas di jalanan
Pecahan-pecahan batu cadas
Sebuah sinyal yang letih
Dan bunyi peluit putih
Ada yang menggariskan jalan paralel ini
Malam diturunkan, bintang-bintang dipasang dan
angin jadi dingin
Bulan lepas sabit
Pun terbit
Serasa bulit-bukit benua
Serasa lewat jembatan tua
Tanah lalang
Padang habis terbakar
Dentang-dentang suara
Dan garis cahaya parabola, tipis dan tajam
Mungkin sebutir bintang yang kulupakan
selama ini
Gugus Bimasakti
Lewat jendela kayu jati
Meluncur angin dingin
Ada kesunyian memburu di belakang itu dan
aku merasa
ingin
Menoleh. Tapi adalah kelam jutaan daunan
Serasa mersik gugur
Serasa di atas rawa malam
Menggaris cahaya parabola
tipis dan tajam
Mungkin sebutir bintang yang terlupakan
Selama ini.
1967
SEMAK-SEMAK ANTENA
Siapa itu mengacungkan tangan ke luar jendela
Tingkat teratas
Atmosfir penuh gelombang
Awan di antara antena
Gelombang elektronik, pita-pita magnetik
Mimpi yang bising
Siapa itu melambaikan tangan di sana
Di antara jarum-jarum antena
Sebuah getaran, baiklah …
Sia-siakah?
Getaran lalu-lintas di bawah
Di sana. Di antara aturan-aturan kepolisian
Di antara gasing karbulator
Udara daerah industri yang kotor
Dalam kerucut asap
Dan perumahan kotak-kotak
Lelaki setengah usia di beranda
Membaca koran sore yang mekanis
Penyiar dengan berita otomatis
Hai! Yang melambaikan tangan itu!
Hai!
1967
PANMUNJON, MUSIM PANAS 1970
Korea, semenanjung itu, matanya terpejam
silau musim panas
dari matahari
ia membaring, memanjang
pada salahsatu
tulangrusuknya, melintang
dan menggelombang
melintas
bukit
demi bukit
yang berumput kering
yang berkawat duri
bagaikan sirip
lumba-lumba
yang berenang
diam-diam
di atas rumputan kering
di atas lautan semak
tidak ada suara
tidak ada lalu lintas tidak ada kanak-kanak
tidak ada gerobak air tidak ada
pemandangan desa
inilah
bukit-bukit yang termasyhur itu
bukit-bukit
kubur
yang ada adalah sepotong perut semenanjung
dan cuaca di antaranya
ternyata tidak dapat kita
menentukan
segal-galanya
di sini sengketa
yang
pernah membakar
sumbu-sumbu logam
dan lalu berpijaran
melompat dari
satu bukit
ke bukit lainnya
telah agak padam dan bersembunyi di antara
rumput-rumput
kering
dan menyelinap di antara
semak-semak
liar
atau bertengger jadi segumpal kanker
pada
sebatang
pohon
kastanye
di
puncak
sebuah
bukit
di sana
dan di belakangnya
adalah sungai
dengan warna air
sedikit keruh
saat ini semua diam
ada juga sesekali
margasatwa berbunyi
ataukah sedikit bernyanyi?
tidak kukenal nama serangga itu
tentunya dia akan keluar dari sarang musim
dinginnya, mengibas-ngibaskan sayapnya yang
bagaikan kertas plastik, mengusap-ngusapkannya
pada kakinya yang beruas-ruas dan mungkin
sekali mengeluarkan bunyi yang aneh
dari gesekan itu atau dari tali tenggorok
mungkin begitu
mereka tentunya
berjuta-juta
di tanah ini
lepas musim semi dan sebelumnya
musim dingin yang kejam, sepatutnya
di bulan Juli ini, pada siang ini
mengeluarkan serempak bunyi
yang bisa amat dasyat
inilah angan-angan yang
tidak sepantasnya terjadi
siang hari
siang ini
karena langit amat bersih
cuaca 80 serta lembab
dan di kawasan tak bertuan ini
jalannya tanah, berdebu sedikit merah
dan bisa mengepul
ketika dua orang anak muda itu
mengenakan jaket tahan peluru
mencoba membunyikan mesin jipnya
sementara di lereng sana
beberapa orang mengawasi
ada yang mencangkung
di gardu demarkasi
tidak kukenal nam-nama mereka
tentunya mereka ketika keluar dari barak-barak musim
dingin, mengibas-ngibaskan lengan dan urat-urat
pinggang yang pegal, mengosok-gosok corong-
corong baja mereka dan mungkin sekali pernah
mengeluarkan bunyi yang aneh itu dari picu-picu
atau tidak seimbangnya komposisi bubuk mesiu
mungkin begitu
mereka tentunya
berpuluh-beratus-ribu
di tanah ini
lepas musim semi, lepas musim dingin yang kejam
dan menjelang musim rontok
di padang lepas berbukit-bukit ini
berpandang-pandangan dalam diam
yang bisa akibatnya jadi amat dasyat
inilah angan-angan yang
tidak sepantasnya terjadi
inilah pilem-pilem tua yang
tidak layak diputar lagi
siang hari
siang hari
sementara langit amat bersih
lembab musim panas yang pengap
di atas sepotong tanah semenanjung
di bawah setangkup langit demarkasi
yang mengawasi bukit-bukit
yang
meng-
ge-
lom-
bang
dan kering
di sana sini sedikit hijau
di semak-semak liar
dengan kuntum-kuntum alit
dan kabut jauh yang agak biru
di sini kesunyian mengenalkan dirinya
dengan suasana sedikit tajam
dan papan-papan penunjuk
yang huruf-hurufnya terlalu persegi
serta hitam, agak luntur
mengenai devisi kedua
tetapi di manakah kawanan
burung-burung itu
yang layaknya beterbangan
dalam formasi atau campur-baur
seperti di khatulistiwa
dan sayap-sayap mereka yang
sebentar nampak sebentar hilang
atau semacam elang
yang mengapung bagaikan menggantung
dalam gerakan yang hampir tanpa gerakan
tetapi di manakah kawanan
itu sekarang
di atas bukit-bukit
di bawah setangkup langit
awan pun tiada
langitpun bagai
baki perak
yang menyilaukan
terlalu polos adanya
lengang ini terasa
tajam
amat
sehabis peperangan udara
dengan unggas-unggas logam
yang bisa
menjerit-jerit garang
dan mencecerkan ledakan
ledakan
luarbiasa
dengan asap
asap
dan kerusakan-kerukan
yang matematis
dan putus-putuslah siklus
biologi ini
karena sirkulasi darah dipotong-
potong, sistem tulang dan saraf
diobrak-abrik, silsilah pohon keluarga
ditebang-tebang, panen biji-bijian
dan buah-buahan dirusak, migrasi burung-burung
jadi kacau, air minum bau kelong-
song dan
air
mata
dan
air
ma-
ta …
tunggal
sebatang
pohon
kastanye
ingat
pada
peluru-peluru
cahaya
dua
puluh
tahun
yang
lalu
1970
MUSIM GUGUR TELAH TURUN DI RUSIA
Seekor burung raksasa pada suatu malam cuaca mengembangkan
sayapnya yang perkasa mengibas-ngibaskannya gemuruh, dan
lena maka rontoklah bulu beludru di langit tua dan biru gugur
dan gugur melayang dan berbaur.
Musim gugur telah turun di Rusia
Berjuta bintik kapas warna putih angsa pada suatu malam cuaca
naik mengembang bersama dan menggeliatlah dia menggelepar
menyerakkan warna dan aroma
Musim panas melayang di atas Rusia
Dengan malasnya burung itu terbang sayapnya mengibaskan
angin agak dingin daun-daun beriozkajadi berganti warna burung
raksasa tiba di atas kutub utara dia berkaca sekilas di laut terus
melayang ke bagian bumi yang lain seraya membagi-bagikan
angin yang agak dingin
Musim gugur talah turun di Rusia
1970
SAPI DAGING PETERNAKAN BRENTON
Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim
Matahari musim rontok bersinar
Tanahnya landai, lupurnya subur
Duaratus meter persegi tai sapi
dalam satu dengkul
Mata rantai produksi kali ini
Adalah kandang-kandangg sapi daging
Peternakan Brenton
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
Lumpur yang subur
Tangki air sembilan ribu galon
Kamar pengaduk makanan
Timbangan 5000 kilo
Kantor catatan kelahiran
buku hitung dagang
Dan bau serbuk manis
Melayang bersama
Tepung jagung
Hinggap pada suara
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Matahari bersinar miring
Masuk celah peredaran udara
Klinik sapi
Hai!
Para pasien leptospira dan diarrea
Si gemuk ternak penjara
Iowa Beef Packerakan memperinci kalian
Lewatpenjagalan
Perusahaan pengalengan
Industri ke seluruh negeri
Dan adpertensi penuh fantasi!
Dua ribu sapi menguak sekali gus
Dalam persatuan yang mengharukan
Suara mereka adalah
Ilustrasi padang-padang jagung
Tanah yang landai
lumpur yang subur
Bau sirup yang manis
Debu tepung jagung
Inilah pabrik daging yang hidup
Inilah sebuah sistim
Matahri musim rontok bersinar
Di atap kandang-kandang
Peternakan sapi daging
Kepunyaan Brenton.
1971
BOLA BERGULING DI BAWAH PANAS MATAHARI
Di antara orang-orang baik hati duduk pencopet
dalam kendaraan ini
Agama telah dijadikan bus tua
Yang mencari penumpang sebanyak-banyaknya
Bus berjalan. Debu berkibar
Pada suatu sore orang melempar senjata ke tengah jalan
Dan ada lagu mars Pemadam Kebakaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Perncitaan adalah nasib yan aneh
Hutan jati ketika rontok daun
Dekat pantai lagi surut
Kanak-kanak main berkejaran
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Lewat jaringan lalu lintas
Pada suatu pagi aku memejam
Teluk San Francisco, Laut Jawa dan Mediterania
Kemudian sebuah lepau nasi
Orang tua baru selesai dengan mangkuk kahwanya
Di jalan, pergi, hari masih agak pagi
Di atas ada hutan pina
Sawah biasa, ladang lobak dan kebun tebu
Tempat berburu babi
Bola berguling di bawah panas matahari
Medan magnit sepanjang rek kereta api
Bintang terhampar di tempayan langit
Bagai sulaman bintik-bintik cahaya
Atas Padang Giring Giring, atas St. Peterburg lena
Bus jalan. Seorang kanak bercelana pendek
Membawa album hitam
Di tepi jalan kota kecil
Ke muara pelabuhan
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Banyak debu di warung orang Vietnam
Dan Bur mengangkat gelasnya
Pada sore Savannakhet yang sedikit aneh
Kejutan tangis, dan kauacungkan tinju
Pada matahari
Yang pijar
Hidupku serasa bergolek di atas sutera Siam
Seraya menulis sajak-sajak percuma
Bila mengingatmu
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama
Bunyikan lagu biru yang agak ngilu
Duka yang terpental-pental
Alabama
Bus jalan. Chicago muntah
Dan menyiarkan lumpur salju yang hitam
Sebuah kuburan mobil memanggil-manggil
Mengembuskan asam karbon tanpa warna
Dan Malcolm X menudingkan telunjuknya
Bola berguling di bawah panas matahari
Adalah percuma
Menjahit padang pasir
Dengan menara-menara tambang minyak
Bola berguling di bawah panas matahari
Dan kepala Joseph Richard Smith
Maharesi 14 tahun itu berkata:
‘Teruskanlah kalimat ini, Joe :
Jiwamu termaktub dalam iklan-iklan
Lalu …
Dan berkatalah Joe Smith:
‘Jiwaku termaktub dalam iklan-iklan
Dan iklan-iklanku tanpa jiwa’
Bola berguling di bawah panas matahari
Alabama, Alabama
Bunyikan lagu biru yang ngilu
Duka hitam terpental-pental
Alabama
Bola berguling di bawah panas matahari
Bus jalan. Debu berkibar
Dekat pangkalan pedati
Anak itu menendang sedikit keras
Dan bola berguling
Di bawah panas
Matahari.
1972
TREM BERKLENENGAN DI KOTA SAN FRANCISCO
Pagimu yang cerah. San Francisco, sampai padaku di atas bukit
itu, lautmu bagai bubur agar-agar, uap air di langitmu mence-
cerkan serbuk kabut seperti tepung nilon dan terjela-jela sepan-
jang jembatan raksasamu tepat seperti kartu pos bergambar yang
pernah kubeli di kedai Hindustan duapuluh empat tahun yang
silam di Geylang Road ketika aku masih bercelana pendek dan
asyik menghafalkan nama-nama hebat dengan huruf-huruf c, v
x dan y pada pelajaran ilmu bumi di Sekolah Rakyat partikelir.
Matahari terlalu gembira menyinari bukit-bukitmu. Bukit-bukit
yang ditumbuhi rumah-rumah Eropah, Meksiko, Habsyi dan
Cina, bercat putih beratap merah tua dengan bunga-bungaan
yang mekar karena persekutuan akrab dengan musim semi bagai
tak kunjung habisnya. Debu segan padamu. Kotoran mekanika
dan asam arang kauserahkan sepenuhnya pada Los Angeles si
buruk muka. Dia cemburu padamu.
Pasar buah dan rempah-rempah. Trem berklenengan dan melun-
cur gila pada penurunan bukit-bukit sama-kaki yang sempit.
Sebuah peti cat meledak di udara dan warna-warna pun dibagi-
bagi pada deretan bangunan didnding trem kota, tulang jembatan,
atap, pintu dan jendela. Angin mengeringkannya dan mengaduk-
nya dengan aroma daun-daun perladangan jeruk serta uap perair-
an dermaga lalu dikibas-kibaskan oleh sayap kawanan burung
camar mengatasi muara lautan.
Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percin-
taan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh
pelukis-pelukis kubistis. Emas yang diburu-buru abad yang lalu
dilambangkan dalam cahaya natrium, amat geometris, lewat ting-
kap-tingkap dan pipa-pipa kaca, simetris dan tidak simetris.
Kapal-kapal angkat jangkar.
Di ujung meja panjang terbuat dari kayu mahoni pada suatu bar
dekat Market Street seorang tua berambut putih berkumis putih
berjanggut putih duduk di atas kursi plastik yang bentuknya
seperti bom waktu. “Aku tidak dengan Amerika menyanyi lagi”
ujarnya. Pelayan bar memberinya segelas bir.
Amerika tidak menyanyi lagi.
Amerika mengerang.
Di atas bar kayu mahoni berlapis formika hampir biru muda,
padang-padang Texas dilipat ke tengah, New York berhamburan
ke dalam Grand Canyon, Niagara mengental, California
tergulung-gulung. Walt Whitman memeras Amerika bagai sehelai
karbon bekas, dan si tua itu menuangkan bir Milwaukee berbusa
ke atasnya.
Amerika mengeluarkan bunyi kerupuk kentang kering
Yang dikunyah lambat-lambat
Camar-camar teluk San Francisco melayang di atas kedai-kedai
bunga tulipa, menelisik jaringan kawat trm-trem yang
berklenengan dan buang air tepat di atas kantoe asuransi.
Selamat jalan c
Selamat jalan v
Selamat jalan x
Selamat jalan y
Selamat jalan.
1972
PEPATAH PETITIH BARU
Mata
Gajah di seberang lautan tak tampak
Kuman di pelupuk mata juga tak tampak
Humas
Menepuk air di dulang
Terpercik ke muka sendiri
Kemudian dilap dengan press release
Ekonomi
Sesal dahulu pendapatan
Sesal kemudian pengeluaran
Pendidikan
Guru kencing berdiri
Murid mengencingi guru
Hujan
Air hujan turunnya ke cucuran atap
Kalau banjir atapnya yang turun ke air
Nasionalisme
Hujan batu di negeri orang
Hujan emas di negeri sendiri
Lebih enak di negeri sendiri
Penderitaan
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersakit-sakit berkepanjangan
PBB
Duduk sama rendah
Berdiri lain-lain tingginya
Gunung Api
Maksud hati memeluk gunung
Apa daya gunungnya meletus
Pers
Buruk muka pers dibelah
1972
BAGAIMANA KALAU
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah
alpukat
Bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus
kita beri mandat
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia
Monaco
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung
Sahari
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop
Bagimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan
Rendra
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang
terjadi pernah kita rancangkan
Bagaimana kalau akustik dunia jadi demikian sepenuhnya sehingga
di kamar tidur kau sampai debu bom Vietnam, gemersik
sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi
serta suara-suara percintaan anak muda, juga bunyi industri
presisi dan margasatwa Afrika
Bagaiman kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan
kita pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya
bagaimana lagi.
1971
ENGKAUKAH ITU, YANG BERDIRI
DI TIKUNGAN ITU
Pada saat penyebrangan sesudah makan siang, lepas pantai
Gilimanuk, kulihat kau bersandar di sana sepuluh
tahun yang silam, pohon-pohon palma di belakangmu
Ada suatu saat di Margomulyo, sehabis sore Yogya dengan kuku
burung balam mengantar malam, awan dan cahaya
sama tenggelam
Berlayar di lautan Jawa dan Hindia, panggilan peluit uap
cerobong asap dan lemparan tali sisal, tak sampai
mencapai pantai
Berdiri di pojok lapangan Banteng sebelum ada terminal, engkau
melintas sepintas serasa tidak aku kaukenal, kemudian
kita naik oplet tua Willys tahun lima dua
Engkaukah itu depan warung desa Ayuthya, di pojok Metro
Trocadero, di antara rak-rak buku Atheneo, di
kampus pedalaman Indonesia yang bentuknya seperti
gudang-gudang sedeerhana
Aku mencatatnya semua dan melupakannya semua, ketika makan
masakan Szechwan yang lezat citrarasanya atau ketika
bersama misi militer, berdiri memandang padang-padang
perbatasan negara yang dibagi dua, selatan dan utara
Para pengemis Colombo, Weleri, Marble Arc Underground,
depan museum Tashkent, Ginza, pasar Senen Lama,
Fifth Avenue, kalian semua membikin hatiku ngilu,
tapi sekaligus menyindirku, bahwa sebenarnya daku
juga pengemis kehidupan, dalam ukuran tertentu
Aku mencatatmu dan mencoba melupakanmu
Adalah pepustakaan, kuburan dan rumah yatim piatu yang amat
dalam mencekamku, ke manapun aku pergi kucoba
menjenguk jendela dan pagarmu, adakah engkau di
situ dan selintas, engkau ada di situ
Pagi ini aku sarapan agak banyak, waktuku adalah ujung musim
semi dan pangkal musim panas, losmenku Stanhope
Placenomor 4, telepon 01-262-4070, kamarku seharga
dua paun tambah pelayanan sepuluh persen
Berdiri di West End memikkirkan poster-poster teater, suara-suara
orang Italia menjajakan hamburger dengan saus tomat,
engkaupun lewat, berjalan satu tikungan dan berdiri
depan sebuah boutique lalu kita menatap model dasi
serta baju berwarna-warna gila dan biru tua
Restoran Aljazair itu amat lezat, sup ikan Paris luarbiasa dan
masakan Kanton adalah makanan raja-raja, namun aku
rindu juga lepau nasi Padang dan waryng tongseng
Jawa yang bukan main lambannya, karena mungkin
engkau, ada di sana
Engkau campur-baur dan seringkali kabur, namun aku menca-
tatmu, untuk rindu dan lalu kucoba, melupakanmu.
1971
KEMBALIKAN INDONESIA KEPADAKU
Hari depan Indonesia adalah duaratus juta mulut yang menganga
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian
berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang
malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena
seratus juta penduduknya
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong
siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15
watt
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan teng-
gelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-
renang di atasnya
Hari depan Indonesia adalah duaratus juta mulut yang menga-
nga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 watt, seba-
gian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-
renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa saratus juta bola lampu 15 watt ke dasar lautan
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang
malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena
saratus juta penduduknya
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 watt, sebagian
berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian
Kembalikan
Indonesia
padaku
1971
BERI DAKU SUMBA
Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu
Aneh, aku jadi ingat pada Umbu
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api di atas sana
Rinduku pada Sumba adalah rindu peternak perjaka
Bilamana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga
Tanah rumput, topi rumput dan jerami bekas rumput
Kleneng genta, ringkik kuda dan teriakan gembala
Berdirilah di pesisir, matahari ‘kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas mulai dikipas dari sana
Beri daku sepotong daging bakar, lenguh kerbau dan sapi malam hari
Beri daku sepucuk gitar, bossanova dan tiga ekor kuda
Beri daku cuaca tropika, kering tanpa hujan ratusan hari
Beri daku ranah tanpa pagar, luas tak terkata, namanya Sumba
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh
Sementara langit bagai kain tenunan tangan, gelap coklat tua
Dan bola api, merah padam, membenam di ufuk teduh
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari membusur api, cuaca kering dan ternah melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh.
1970
AKU INGIN MENULIS PUISI, YANG
Aku ingin menulis puisi, yang tidak semata-mata berurusan
dengan cuaca, warna, cahaya, suara dan mega.
Aku ingin menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-
lompat di pekarangan sekolah, yang main gundu dan
petak umpet di halaman rumah, yang menangis kare-
na tidak naik kelas tahun ini.
Aku ingin menulis puisi yang membuat orang berumur 55 merasa
25, yang berumur 24 merasa 54 tahun, di manapun
mereka membacanya, bagaimanapun mereka memba-
canya: duduk atau berdiri
Aku ingin menulis puisi untuk penjual rokok-kretek, tukang ja-
hit kemeja, penanam lobak dan bawang perai, penam-
bang sampah di sungai, penulis program komputer
dan disertai ilmu bedah, sehingga mereka berhenti
sekejap dari kerja mereka dan sempat berkata: hidup
ini, lumayan indah.
Aku ingin menulis syair buat pensiunan-pensiunan guru SD, pe-
lamar-pelamar lowongan kerja, para langganan rumah
gadai, plonco-plonci negeri dan swasta, pasien-pasien
penyakit asma, kencing gula serta penganggur-
pengganggur sarjana, sehingga bila mereka baca bebera-
pa sajakku, mereka bicara: hidup di In donesia, mung-
kin harapan masih ada.
Aku ingin menulis sajak yang penuh protein. sekedar zat kapur,
belerang serta vitamin utama, sehingga pusi-puisiku
ada sedikit berguna bagi kerja dokter-dokter umum,
dokter hewan, insinyur pertanian dan peternakan.
Aku ingin menulis puisi bagi para pensiunan yang pensiunnya
dipersulit otorisasinya, tahanan politik dan kriminal,
siapa juga yang tersiksa, sehinnga mereka ingat bahwa
keadilan, tak putus diperjuangkan.
Aku ingin menulis sajak yang bisa membuat orang ingat pada
Tuhan di waktu senang, senang yang sedang-sedang
atau yang berlebihan.
Barangkali aku tak bisa menulis demikian.
Tapi aku kepingin menuliskannya.
Aku ingin.
Aku ingin menulis puisi yang bisa dibidikkan tepat pada tubuh
kehidupan, menembus selaput lendir, jaringan lemak,
susunan daging, pembuluh darah arteri dan vena,
mengetuk tulang dan membenam sumsum, sehingga
perubahan fisika dan kimiawi, terjadi.
Aku ingin menulis puisi di buku catatn rapat-rapat Bappenas,
pada agenda muktamar mahasiswa, surat-surat cinta
muda-mudi Indonesia, pada kolom kiri lembaran
wesel yang tiap bulan dikirimkan orangtua pada
anaknya yang sekolah jauh di kota.
Aku ingin menulissyair pada cetak-biru biro-biro arsitek, pada
payung penerjun terkembang di udara, pada iklan-
iklan jamu bersalin, pada tajuk rencana koran ibukota
dan pada lagu pop anak-anak muda.
Aku ingin menulis sekali lagi puisi mengenai jendral Sudirman
yang berparu-paru satu, serta tentang sersan dan
prajurit yang terjun malam di Irian Barat kemudian
tersangkut di pepohonan raksasa atau terbenam di
rawa-rawa malaria.
Aku ingin menulis syair yang mencegah kopral-kopral tak pernah
bertempur agar berhenti menempelengi sopir-sopir
oplet yang tarikannya payah.
Aku ingin menulis sajak ambisius yang bisa menghentikan perang
saudara dan perang tidak saudara, puisi konsep gencat-
an senjata, puisi yang bisa membatalkan pemilihan
umum, menambal birokrasi, menghibur para pengungsi
dan menyembuhkan pasien-pasien psikiatri.
Aku ingin menulis seratus pantun buat anak-anak berumur lima
dan sepuluh tahun sehingga bila dibacakan buat me-
reka, maka mereka tertawa dan gigi mereka yang putih
dan rata jelas kelihatan.
Aku ingin menulis puisi yang menyebabkan nasi campur dimakan
sarasa hidangan hotel-hotel mahal dan yang menyebab-
kan petani-petani membatalkan niat naik haji dengan
menggadaikan sawah dan perhiasan emas ssang istri.
Aku ingin menulis puisi tentang merosotnya pendidikan, tentang
Nabi Adam, keluarga berencana, sepur Hikari, lembah
Anai, Amirmachmud, Piccadily Circus, taman kanak-
kanak, Opsus, Raja Idrus, nasi gudeg, kota Samarkand,
Raymond Westerling, Laos , Emil Salim, Roxas Boule-
vard, Ja’far Nur Aidit, modal asing, Chekpoint Charli,
Zainal Zakse, utang $ 3 milyard, pelabuhan Rotter-
dam, Champs Elysses dan bayi ajaib, semua – – nya
disusun kembali menurut urutan abjad.
Aku ingin menulis puisi yang mencegah kemungkinan
pedagang-pedagang Jepang merampoki kayu di rimba
dalam Kalimantan, melarang penggali minyak dan
penanam modal mancanegara menyuapi penguasa
yang lemah iman, dan melarang sogokan uang pada
pejabat bea cukai serta pengadilan.
Aku ingin menggubah syair yang menghapuskan dendam anak-
anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya
terbunuh pada waktu pemberontakan komunis yang
telah silam.
Aku ingin menulis gurindam yang menghapuskan dendam anak-
anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya
dibunuh pada waktu pemberontakan komunis yang
telah silam.
Barangkali aku tidak sempat, menuliskannya semua.
Tapi aku ingin menulis puisi-puisi demikian.
Aku ingin.
1971
Catatan :
Taufiq Ismail lahir di bukittinggi, Sumatra Barat, 25 Juni 1937. Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan UI, Bogor. Tahun 1956/1957 ia memperoleh beasiswa dari American Field Service International Scholarship untuk mengikuti Whitefish Bay High School di Milwaukee, AS.
Kemudian menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Returnees AFSIS (IRA), 1958-1960. Selain giat menulis, semasa studinya aktif dalam organisasi pelajar dan mahasiswa, di antaranya pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UI (1960-1962), dan kemudian bekerja di PT Unilever Indonesia, di antaranya pernah menjadi Manajer Hubungan Luar sampai pensiun.
Buku-buku yang telah terbit yaitu dua kumpulan puisi Tirani dan Benteng (1966). Sebelum itu Tintamas telah menerbitkan sajak-sajak Taufiq dalam antologi Manifestasi (1963). Bersama Ali Audah dan Goenawan Muhamad dia menerjamahkan karya Muhammad Iqbal The Recontruction of Religious Thought in Islam menjadi Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (1965).
Karya-karyanya yang lain : Buku Tamu Musium Perjuangan (1965), Puisi-Puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang, Angin dan Langit (1971), Sajak Ladang Jagung (1973), Tirani dan Benteng (1993), Malu Aku Jadi Orang Indonesia (1998), dan setelah 55 tahun berkarya di dunia sastra Indonesia, karya lengkapnya diterbitkan lagi pada tahun 2008 menjadi empat buku, yaitu
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1: Himpunan Puisi 1953-2008,
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 2: Himpunan Tulisan 1960-2008,
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 3: Himpunan Tulisan 1960-2008,
Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4: Himpunan Lirik Lagu 1972-2008.
Demikian puisi-puisi karya Taufiq Ismail yang terdapat dalam kumpulan puisi yang berjudul Sajak Ladang Jagung Taufiq Ismail, semoga bisa menambah wawasan, pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua.
0 Response to "10 DERETAN SAJAK LADANG JAGUNG "KARYA TAUFIQ ISMAIL + WS RENDRA" LENGKAP"
Posting Komentar